Sebuah Kebaikan Berbuah Kebaikan, Lalu Berbuah Kebaikan Lagi

Suatu malam, Umar bin Khathab bersama Aslam, asistennya, berjalan menyusuri lorong-lorong kota Madinah yang sepi. Sudah menjadi rutinitas Umar, yang kala itu menjabat Amirul Mukminin, untuk melakukan inspeksi, melihat-lihat keadaan rakyatnya secara langsung. Lama perjalanan membuat lelaki berjuluk Al-Faruq ini kelelahan. Dia pun bersandar di sebuah dinding rumah salah seorang rakyatnya. Rumah itu demikian sederhana. Cukup memberi tanda bahwa penghuninya bukan orang berpunya.

Rasa penat menggeliat di antara tulang-tulangnya yang tak lagi muda. Rasa dingin menusuk kulitnya. Saat itulah sayup-sayup terdengar dua orang wanita tengah bercakap-cakap. Setelah didengarkan dengan saksama, tahulah Umar bahwa pemilik rumah itu adalah seorang wanita penjual susu dengan anak perempuannya.

“Wahai putriku, ambilah susu itu dan campurkanlah dengan air,” ujar sang ibu.
Dengan nada menolak, putrinya menjawab, “Wahai Ibu, apakah Ibu tidak tahu keputusan Amirul Mukminin hari ini?”
“Memangnya keputusan apa yang beliau ambil?” tanya ibu itu penasaran.
Beliau memerintahkan rakyatnya agar tidak menjual susu yang dicampur air.”
“Anakku, ambil saja susu itu dan campurkanlah dengan air. Lihatlah saat ini engkau berada di suatu tempat yang tidak mungkin terlihat oleh Umar,” katanya kembali.
“Ibu, tidak mungkin bagiku untuk menaatinya pada saat ramai dan mendurhakainya pada saat sepi.”


Dialog tersebut menyita perhatian Umar bin Khathab. Semuanya terekam dengan jelas. Umar lalu bergegas pulang. Sesampainya di rumah, dia segera menugaskan Aslam untuk menemui keluarga itu.

“Wahai Aslam, pergi dan selidiki siapa wanita yang menjawab seperti itu dan siapa pula perempuan tua yang menjadi lawan bicaranya. Apakah mereka mempunyai suami?”

Setelah mendatangi rumah perempuan itu, Aslam segera melaporkan penemuannya kepada Umar. Perempuan yang menyuruh mencampurkan susu dengan air adalah ibunya, sedangkan perempuan yang menolak mencampurkan susu dengan air adalah anaknya yang masih gadis, dan di rumah itu tidak ada seorang pun laki-laki.

Setelah semuanya jelas, Umar lantas memanggil semua anak laki-lakinya. Kepada mereka dia berkata, “Apakah di antara kalian ada yang membutuhkan seorang perempuan yang akan aku nikahkan dengannya? Andaikan ayah kalian masih berminat pada seorang perempuan, tentu kalian tidak akan bisa mendahuluinya untuk mendapatkan anak gadis itu!”
Abdullah bin Umar, anak sulungnya, menyatakan tidak berminat karena sudah memunyai istri. Demikian pula, Abdurrahman pun menolaknya. Barulah Ashim, anak laki-laki Umar yang lain, bersedia menikah dengan wanita pilihan ayahnya tersebut.

Tak lama berselang, Umar mengirim utusan kepada keluarga itu untuk melamar anaknya yang akan dinikahkan dengan Ashim. Lamaran pun diterima sehingga terjadilah prosesi pernikahan. Sederhana memang, tapi keberkahan menyelimuti pernikahan putra Amirul Mukminin dengan putri seorang penjual susu tersebut.

Untaian doa terucap dari bibir ayah dan para sahabat yang mulia,

“Baarakallahu laka wa baaraka ‘alaika wa jama’a bainakum fi khairan.”

 
Sebuah doa yang sangat indah,

“Semoga Allah memberkahi kalian, baik dalam keadaan senang ataupun susah, dan senantiasa mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

 
Allah Swt. berkenan mengabulkan doa tersebut. Pernikahan mereka diberkahi Allah. Istri Ashim pun melahirkan seorang putri. Sejarah kemudian mencatat, dari rahim anak perempuan inilah lahir Umar bin Abdul Aziz. Beliau adalah seorang pemimpin besar Islam berakhlak mulia yang digelari Khulafaur Rasyidin kelima. Pada masa pemerintahannya, kaum Muslimin mencapai kejayaan dan kemakmuran lahir dan batin yang hampir tak ada duanya. Nama besarnya tetap dikenang hingga kini.

***

Kisah ini sungguh luar biasa. Lihatlah bagaimana sebuah kebaikan berbuah kebaikan, lalu berbuah kebaikan lagi. Berawal dari keinginan untuk jujur memperoleh harta halal (walau sedikit), terjadilah sebuah pernikahan yang diberkahi. Dari pernikahan ini, lahir keturunan yang diberkahi Allah. Keberkahan mereka pun terus menyebar hingga menyentuh generasi-generasi sesudahnya.

Benar apa yang dikatakan Zubair bin Awwam,

“Jika engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu mempunyai saudara keburukan-keburukan yang lain. Jika engkau melihatnya melakukan kebaikan, sesungguhnya kebaikan itu pun mempunyai saudara-saudara kebaikan lainnya.”

 
Kisah ini menginspirasi agar kita tidak menyepelekan sekecil apa pun amal, karena kecil dalam pandangan kita belum tentu kecil dalam pandangan Allah Swt. Semoga kita mendapatkannya, seperti yang didapatkan Umar bin Khathab, Ashim, putri penjual susu, dan anak cucunya, khususnya Umar bin Abdul Aziz.
 

Copyright © 2010 akay design All Rights Reserved

Design by Dzignine